Jumat, 29 Oktober 2010

Mbah Marijan dan "Wedhus Gembel"nya


Sore itu begitu panas, walaupun sesiang telah diguyur hujan. Semakin sore, hawa pun semakin memeras keringat bahkan membakar tulang. Awas! Dan penduduk pun berbondong menuruni jalan yang menyusur wilayah Kinahrejo. Tampaknya apa yang menjadi prediksi para ahli akan turunnya "wedhus gembel" benar adanya. Sang juru kunci pun mengamini hal itu. Namun dia memilih bertahan untuk tetap mengurusi wilayah kuasanya di lereng maut itu. Dan benar, "wedhus gembel" pun datang menghampiri disaat ia bersujud, mengantarnya kembali kepada Yang Empunya.

Siapa yang tak pernah mendengar nama Mbah Marijan? Sesosok tua yang tenar pula dengan pekik "ROSA!" dalam sebuah iklan minuman energi kenamaan semenjak tahun 2006-an. Iklan itu pula yang membuatnya menjadi salah satu selebriti negeri ini. Bukan pelawak, bukan penyanyi dadakan, bukan politisi, bukan artis sinetron, namun menjadi ruh dalam iklan yang dibintanginya itu.

Awalanya, beliau hayalah manusia biasa. Manusia yang terlahir di daerah pegunungan berapi teraktif di dunia, Merapi. Lahir dalam sebuah keluarga yang mempunyai keterikatan dengan gunung Merapi sebagai juru kunci. Jabatan yang diemban atas penunjukan penguasa Kraton Ngayogjokarto Hadiningrat. Atas dasar keturunan ini, Mbah Marijan yang ternyata juga pernah menjadi penasehat presiden Sukarno ini mendapatkan amanat untuk melanjutkan perjuangan ayahandanya sebagai juru kunci gunung Merapi sejak tahun 1982. Entah masuk dalam paniradya yang mana jabatan itu, namun yang jelas secara otomatis dia diangkat sebagai abdi dalem kraton. Pengangkatan sebagai juru kunci Merapi langsung dari Sri Sultan HB IX. Siapa yang sanggup menolaknya?
Bagi sebagian kalangan, kedudukan sebagai abdi dalem merupakan sebuah dambaan untuk menunjukkan pengabdian terhadap Kerajaan atau rajanya. Bisa juga sebagai sebuah pengharapan atas berkah kraton sebagai mana kepercayaan tradisional masyarakat.

Namun jabatan abdi dalem urusan juru kunci Merapi yang diemban oleh Mbah Marijan bukanlah jabatan yang sepele dan biasa. Ini bukan sekedar menyangkut nyawa. Namun menyangkut hubungan vertikal antara Kraton dengan Merapi sebagai simbol Tuhan dengan berbagai ritual dan tradisi yang telah ada. (Hal ini seperti yang diungkapkan Sri Sultan HB X dalam sebuah wawancara di televisi swasta). Dia sebagai seorang yang harus tahu dan paham dengan keadaan Merapi.
Nama Mbah Marijan menasional pada 2006 ketika terjadi erupsi Merapi yang merupakan siklus empat tahunan. Pada waktu itu, pria dengan nama lengkap Mas Panewu Surakso Hargo ini menolak untuk meninggalkan rumahnya yang hanya berjarak empat kilometer dari puncak Merapi. Walaupun kondisi Merapi sudah pada puncaknya dan diperkirakan akan erupsi. Ini bukan soal sensasi layaknya artis atau politikus. Tapi merupakan bentuk tanggug jawab sebagai seorang JURU KUNCI, orang yang paling terakhir. Dan terbuktilah, beliau akhirnya selamat. Sejak saat itulah sebagian masyarakat menganggap bahwa Mbah Marijan sebagai seoarang yang sakti.
Tak ada kata lain selain pasrah yang diucapkan oleh Mbah Marijan ketika terjadi erupsi Merapi tahun 2006. Hal ini seperti yang diucapkan pada putrinya bahwa beliau adalah manusia biasa yang juga makhluk Tuhan. Beliau pasrah bila Tuhan mau mengambil apa yang dimilikinya.

Sikap demikian terulang ketika terjadi gejala erupsi pada tahun 2010 ini. Mbah Marijan dengan tanggung jawabnya sebagai orang terakhir menolak untuk turun sebelum memastikan seluruh warganya dalam keadaan aman.

Namun tampaknya Tuhan telah berkehendak. Sang juru kunci pun menjadi orang yang benar-benar berada paling belakang dan terakhir. Tanggung jawab yang diamanatkan diemban hingga akhir hayatnya. Saat orang lain sibuk memikirkan keselamatan dunia, beliau tetap mengutamakan urusan akhirat. Ya, hubungan vertikal dengan Tuhan sesuai dengan amanat Sri Sultan IX (simbolisme hubungan Kraton-Merapi).

Hal inilah yang menjadikan Mbah Marijan bukan lagi sebagai manusia biasa. Keikhlasan untuk menjalankan tanggung jawab baik sebagai manusia cipataan Allah dan tanggung jawab sebagai pengabdi Kraton Yogyakarta. Perginya Mbah Marijan menjadi sebuah harga yang tak ternilai. Ini sesuai dengan ucapan Asih, putra Mbah Marijan bahwa bencana banjir Wasior, tsunami Mentawai, dan erupsi Merapi tiada artinya bila dibandingkan dengan wafatnya seorang 'alim. Itulah Mbah Marijan.
Khoir.......
(dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar: