Sabtu, 29 Mei 2010

Inug Lagi


Tak terasa hari ini sabtu 29 Juni 2010, sudah lebih dari seribu hari kau berpulang, Inug, Nugie, Benyamin, atau siapalah panggilanmu. Maaf kawan, aku memang tak sengaja ingat kepergianmu yang sudah hampir tiga tahun ini. Enam semester jika dihitung dalam masa kuliah. Waktu yang panjang tentunya, karna kita bisa menempuh puluhan mata kuliah dalam waktu itu walaupun dengan nilai yang gak jelas. Sekarang masih jam 1 pagi, aku mendengar sayup-sayup berita malam, (yang lebih pantasnya disebut berita pagi sekali, karena hampir jam setengah dua sudah dibilang lewat tengah malam) yang mengabarkan peringatan 4 tahun keluarnya lumpur Lapindo. Lantas aku juga teringat gempa yang juga telah terjadi di Jogja-Jateng empat tahun lalu, beberapa hari lebih awal dari lumpur Lapindo. Kudengarkan berita itu tanpa sengaja sambil ku paksa otak ini untuk rehat sejenak, tidur. Namun ingatan ini seakan ingin bernostalgia, dan ternyata memang tak bisa ku tahan lagi. Kubiarkanlah memori ini meliar. Ingat gempa, berarti ingat pula masa KKN. Setidaknya itu bagiku, karena aku benar-benar meng Kuli-ahkan diri sebulan setelah gempa terjadi. Ternyata liar betul iangtan ini, dan tiba-tiba teringat pula satu nama, Nugie. Aku masih ingat betul dia bercerita pengalamannya KKN di daerah Pleret, Bantul bersama Maman yang beda jauh keadaannya dengan di lokasi aku di tempatkan. Lebih tepatnya aku iri, karena jatah makan mereka lebih terjamin dari pada aku yang harus beli sendiri dari hasil patungan. Tapi biarlah, itu tidak terlalu penting. Nostalgia soal gempa dan KKN tidak berlangsung lama. Mataku pun terus terpejam, berusaha mengelabuhi malam. Ingatanku malah kembali pada nama Nugie. Ya, empat tahun gempa, empat tahun KKN, berarti sudah hampir tiga tahun dia pergi. Benar, karena Nugie dikabarkan naik becak bersama temannya menuju rumah sakit pojok kampus beberapa hari sebelum pelepasan KKN 2007. Ah, mataku terpaksa kembali terbuka, dan kutatapkan tepat ke atas ke arah atap rumah. Aku kembali teringat wajah Nugie dengan rambut agak gondrong yang khas acak-acakannya menghadap arah kiblat. Aku masih sempat melihat raut mukanya yang nampak tanpa ekspresi (karena tidak bisa berbuat apa-apa lagi) ketika pakaian putih yang menutupi mukanya dibuka untuk ditempelkan ditanah. Dia pun tidak menolak ketika penggali kubur mulai menutup tidurnya dengan timbunan tanah. Aku yakin raut muka Nugie yang aku lihat terakhir itu raut muka kebahagiaan. Maaf, setidaknya dia tidak perlu lagi melanjutkan kuliah, bertemu dengan dosen-dosen yang kadang menjemukan, lebay. Dia juga tak perlu lagi mengerjakan berbagai tunggakan tugas, mengurus nilai yang tak pernah jelas itungannya. Maaf Gie, kamu beruntung juga karena tak perlu menyelesaikan Skripsi yang terkadang menggemaskan, dan tak perlu juga meributkan gelar, cemoohan dosen sendiri, atau mencari ladang kerja lulusan Ilmu Sejarah. Maaf juga, disini aku tidak mencoba untuk membela atau peduli dengan ilmu sejarah. Tapi itulah keadaannya Gie. Maaf gie, kalo bisa di bilang, aku dan tman-teman lain memang kebangetan. Sudah hampir tiga tahun kamu punya rumah sendiri, baru sekali kita berkunjung. Namun semoga ini tak mengurangi kebahagiaanmu disana Gie. Ingin sekali kita kembali berkunjung Gie, tapi waktu yang belum mengijinkan. Jika kamu masih bisa bersuara, mungkin kamu akan bilang "Mbok mampir cah...." dengan logat jawamu yang masih agak kaku. Maaf, dan sekali lagi maaf Gie...Suatu saat kita akan kembali menghampirimu, semoga dalam keadaan yang bahagia.
Maaf juga, foto diatas cuma buat ingetin aja....

Selengkapnya......