Jumat, 13 Juni 2008

sebuah kenangan suram

Gerakan 30 September,
Sebuah Kontroversi yang Belum Berakhir

Apabila kita menelaah lebih dalam mengenai peristiwa yang terjadi pada bulan September 1965, atau sering disebut dengan G 30 S, seolah kita telah masuk dalam sebuah dunia, yaitu dunia misteri. Dimana kita tidak tahu siapakah sebenarnya dalang dari peristiwa tersebut. Teka-teki pun bermunculan saat kita ingin mengungkap fakta-fakta di balik peristiwa 30 September itu. Peristiwa berdarah ini merupakan peristiwa yang paling tragis dalam sejarah Negara Indonesia modern. Bagaimana tidak, gerakan ini telah memakan korban rakyat Indonesia, baik dari kalangan sipil maupun militer. Ironisnya, gerakan ini dilakkukan sendiri oleh sebagian dari rakyat Indonesia. Hal ini jelas telah melenceng dari cita-cita persatuan dan kesatuan Negara Indonesia yang telah menghantarkan rakyat Indonesia pada proklamasi kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Bukan hanya sampai disitu, perstiwa ini juga telah menyisakan dampak hingga sekarang. Kontroversi yang berkepanjangan menjadi beban berat bagi sejarawan untuk merekonstruksi peristiwa tersebut seobyektif mungkin. Namun apabila kita amati lebh jauh, hal itu tampaknya tidak akan pernah terjadi karena sumber sejarah mengenai peristiwa ini pun banyak yang subyektif. Misalkan, sumber dari kalangan militer, tentunya akan membela militer, sumber dari keluarga orang PKI, tentunnya akan membela keluarganya, dan sumber dari korban akan berbicara lain lagi.
Berbagai versi pun muncul dalam rangka pengungkapan peristiwa berdarah tersebut. Subyektifitas menjadi primadona dalam penulisan sejarah gerakan 30 September. Tentunya hal itu tidak dapat dilepaskan dari adanya maksud-maksud politis di balik pengungkapan itu. Sejarawan pun banyak di buat bingung olehnya, bahkan ada pula yang terlibat langsung dalam proses politisasi pengungkapan peristiwa itu. Salah satu versinya adalah terlibatnya PKI sebagai dalang dari terjadinya gerakan itu. Ini merupakan versi dari pemerintah RI. Bukti mengenai hal ini didapat setelah tertangkapnya ketua CDB PKI Jakarta Raya Nyono.
Di pihak lain, TNI AD juga dituduh menjadi dalang peristiwa ini. Persoalan internlah yang memicu pemberontakan beberapa anggota TNI. Ketidak puasan terhadap sikap pemimpin menjadi akar permasalahannya. Hal itu di tunjukan dengan adanya siaran radio dari pihak pemberontak yang menyatakan bahwa gerakan 30 September adalah suatu kelompok militer yang telah bertindak untuk melindungi Sukarnodari suatu kudeta yang direncanakan oleh suatu dewan yang terdiri dari jenderal-jenderal Jakarta yang korup dan menikmati penghasilan tinggi yang menjadi kaki tangan Badan Intelejen Pusat Amerika Serikat (CIA).
[1] Hal ini juga didukung dengan adanya dekrit nomor 1 mengenai pembentukan dewan revolusi Indonesia. Ditambah lagi dengan adanya kertas kerja yang dikeluarkan oleh Universitas Cornell, New York pada tahun 1965yang berjudul A Preliminary Analysis of The October 1, 1965 Coup In Indonesia dan terbitnya buku yang berjudul Whose Plot New Light on the 1965 Events yang merupakan versi resmi dari PKI.[2]
Namun dari gerakan militer itu dapat ada pula yang menuduh Sukarno lah yang menjadi dalang dari gerakan tersebut. Hal itu di tunjukkan dengan dipanggilnya Leimena, Panglima Angkatan Laut, Panglima Kepolisian dan lain-lainnya ke pangkalan udara Halim guna mengadakan konsultasi yang di mungkinkan terkait dengan lolosnya Nasution. Sukarno juga mengadakan pertemuan dengan Omar Dhani dan tokoh-tokoh kudeta lainnya. Dengan demikian, banyak perwira angkatan darat yang mencurigainya.
[3]
Pada pukul sembilan malam tepat tanggal 1 Oktober, Suharto mengumumkan melalui radio behwa enam orang jenderal telah diculik oleh golongan kontra revolusioner dan kini dialah yang memegang kendali atas angkatan bersenjata adan akan menumpas gerakan 30 September dan melindungi Sukarno. Bahkan dia mengacuhkan pemberitahuan kepadanya mengenai pengambil alihan komando militer oleh Sukarno sebelum ia mengumumkan gerakan penculikan tersebut.[4] Kecurigaan terhadap Suharto muncul karena dia tidak mendapatkan serangan diantara jenderal-jenderal lain. Sedangkan Suharto sendiri merupakan salah satu kepercayaan Sukarno. Terbukti Suharto dapat dengan mudahnya mengambil alih komando atas angkatan bersenjata Indonesia dan tidak lagi menggubris Sukarno. Dan setelah itu kudeta pun berakhir dengan mudah pula. Disisi lain, sebelum serangan terjadi, Suharto sedang berada di RSPAD. Kedatangan A. Latief menemui Suharto di RSPAD ini mengundang kecurigaan, bahwa Latief datang untuk memberitahukan mengenai rencana gerakan tersebut.[5]
Di sampiung beberapa versi di atas, kita juga perlu melihat factor lain yang terjadi di dunia internasional. Pengaruh Negara barat, sangat dimungkinkan berperan dalam gerakan ini. Stablitas Negara yang masih rapuh, merupakan satu kesempatan yang baik untuk menyusupkan idiologi-idiologi barat. Terlebih lagi, perang dingin antara kubu Soviet dengan Amerika masih berkecambuk. Hal ini juga merupakan sebuah pertimbangan dalam mengungkap peristiwa berdarah ini.

[1] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, cetakan ke-5. Yogyakarta: Gajah Mada Univercity Press, 1995, hlm 428.
[2] Atmaji Sumardkidjo, Mendung di Atas Istana Merdeka : Menyingkap Peran Biro Khusus PKI dalam Pemberontakan G 30 S. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000, hlm. 16.
[3] Ricklefs, loc. cit.
[4] Ibid., hlm. 429.
[5] St. Sularto, Dialog dengan Sejarah: soekarno Seratus Tahun. Jakarta: Kompas, 2001, hlm. 303.

Tidak ada komentar: